Selasa, 04 Desember 2007

Presiden Meminta Agar Aparat Yang Terlibat Illegal Logging Diawasi

[Antara News] - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta masyarakat dan kalangan pers agar ikut membantu mengawasi oknum aparat yang terlibat kegiatan pembalakan liar atau "illegal logging". "Saya tidak ingin ada yang terlibat, baik oknum kepolisian, kejaksaan, pengadilan, Departemen Kehutanan, maupun tentara. Siapa pun yang terlibat adalah musuh besar kita," kata Presiden, ketika berdialog dengan peserta "Bicycle for Earth Goes to Bali" dan Kawula Muda Peduli Lingkungan, di halaman Kantor Gubernur Bali, Denpasar, Selasa.

Pernyataan Presiden itu disampaikan menjawab pertanyaan Aji Prakoso, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Udayana Bali, yang mempertanyakan komitmen pemerintah untuk penegakan hukum lingkungan khususnya kasus "ilegal logging". Presiden yang didampingi Ibu Ani Yudhoyono dalam kesempatan itu kembali menegaskan komitmen pemerintah untuk terus melaksanakan perang besar terhadap pelaku pembalakan liar.

Menurut Presiden, ratusan orang telah diproses secara hukum. Sebagian sudah dijatuhi hukuman, sebagian lainnya sedang dalam proses dan ada pula yang berhasil melarikan diri. "Yang harus kita kejar adalah otak dari pembabatan hutan, penyandang dana, serta orang yang membawa kayu ke luar negeri dengan harga tinggi," katanya.

Mereka itu, kata Presiden, adalah penjahat besar yang telah mengakibatkan kerusakan lingkungan, tidak masuknya pajak, serta menyebabkan tak bergeraknya ekonomi.
"Merekalah yang akan terus kita kejar," tegas Presiden. [Selasa, 4 Des 2007]

Jumat, 30 November 2007

Saatnya Mengimplementasikan Pernyataan Presiden SBY !

[Indonesia Forest Monitor] - Pelaku illegal logging (pembalakan liar) harus diberantas. Harus dilawan siapa otak di belakang illegal logging, atau penyandang dananya. Pelaku illegal logging adalah musuh semua masyarakat, sehingga harus diberantas. Orang yang menebang hutan sembarangan, telah membuat bencana di Indonesia.

Kalimat di atas meluncur deras dari mulut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Cibadak, Bogor, Jawa Barat, pada saat pencanangan penanaman 79 juta pohon dan pekan penanaman hutan di Indonesia menyambut konferensi kerangka kerja PBB tentang perubahan iklan.Sebagai warga, tentu saja kami sangat mendukung pernyataan Presdiden SBY tersebut.

Bukan hanya mendukung, kami juga menunggu implementasi kongkrit berupa penegakkan hukum atas illegal logging di tanah air. Di satu sisi, pernyataan Presiden SBY seperti embun yang menyejukkan hati, namun, di sisi lain, ada celah pesimisme karena pemerintah tidak mampu membekuk para pelaku illegal logging.

Terus terang, kami juga prihatin membaca pernyataan Kapolda Riau Brigjen Polisi Drs Sutjiptadi yang kesulitan membekuk dua perusahaan pulp raksasa (di Riau) – yang ditudingnya sebagai biang praktek illegal logging, selama bertahun-tahun. Menurut Kapolda, dua perusahaan itu memiliki lahan jutaan hektar yang bisa mereka kuasai selama 94 tahun. Namun, akibat pejabat dan pengusaha melakukan kolusi gila-gilaan, berbagai spesies tumbuh-tumbuhan dan binatang serta kelestarian alam pun menjadi punah. Hutan diobrak-abrik tanpa mengindahkan aturan dan ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah.

Sutjiptadi dan jajarannya sudah memiliki bukti-bukti yang lengkap mengenai masalah tersebut, termasuk manipulasi dokumen-dokumen yang dilakukan oleh pengusaha yang menjadi becking gerombolan illegal logging. Saatnya, pernyataan Presiden SBY bukan sekedar proyek kehumasan, namun seharusnya menjadi alat untuk menjadi mendorong penegakkan hukum di tanah air. Caranya hanya satu jalan, yaitu jebloskan pelaku illegal logging ke penjara sekarang juga.
[Tabrani Bachri, Koordinator]

Jumat, 23 November 2007

ILLEGAL LOGGING : Hanya 2% Perkara Kehutanan Divonis Bersalah

[Suara Karya] - Perkara pembalakan liar (illegal logging) dibayangi disharmoni hukum dan ketidakpahaman hakim. Akibatnya, perkara-perkara kehutanan yang dijatuhi vonis bersalah tak sampai dua persen. Selebihnya divonis bebas.

Demikian terungkap dalam diskusi terbatas bertema "Kontroversi Kasus-kasus Hukum Pembalakan Liar", kemarin, di Jakarta. Diskusi menampilkan pembicara pengamat hukum Bambang Widjojanto, dosen hukum pidana Rudy Satriyo Mukantardjo, dan Ketua Badan Pengurus Institut Hukum Sumber Daya Alam Sulaiman N Sembiring.

"Menurut data ICEL (Indonesia Center for Environment Law), dari 155 kasus illegal logging pada tahun 2006, hanya 10 yang diajukan ke pengadilan. Sembilan di antaranya divonis bebas," kata Bambang. Menurut dia, jumlah nilai kerugian negara yang dituduhkan pada kasus-kasus tersebut mencapai Rp 530 triliun. Jika diteliti lebih lanjut, terdakwa perkara-perkara illegal logging dibebaskan karena peraturan yang mengatur kehutanan tidak selaras. Peraturan tersebut antara lain Inpres Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Secara Ilegal, UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dan UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Selain itu, perusahaan dalam kasus-kasus pembalakan liar yang dilimpahkan ke pengadilan sebagian besar juga memiliki izin pengelolaan hutan. "Misalnya, kasus Adelin Lis. Karena minimnya pemahaman hakim tentang pengelolaan hutan, mereka cenderung memutus bebas," kata Bambang.

Menurut Bambang, unsur penting dalam pidana kehutanan dan pidana lingkungan hidup adalah adanya unsur melawan hukum. Artinya, tindakan tersangka baru dapat dikenai pasal pidana jika kegiatan menebang, mengangkut, mengolah, dan memanfaatkan hutan dilakukan secara melawan hukum. Pembuktian unsur melawan hukum tersebut tidak mudah karena aspek hukum tidak selaras sehingga memungkinkan penafsiran beragam.

Contohnya aturan tentang hutan tanaman industri (HTI). Peraturan perundangan yang mengatur HTI pertama kali adalah PP Nomor 7 Tahun 1980. Peraturan itu menyatakan area hutan yang dapat diusahakan sebagai HTI adalah kawasan hutan produksi tetap yang tidak produktif.

Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Kehutanan, HTI yang diatur oleh pasal 28 ayat 1 undang-undang tersebut menyatakan pemanfaatan hutan pada hutan produksi tetap berupa usaha pemanfaatan hutan alam dan usaha pemanfaatan hutan alam. Selanjutnya, HTI diatur pula melalui PP Nomor 34 Tahun 2002 yang mengatur HTI harus dilaksanakan di lahan kosong, padang ilalang, dan semak belukar hutan produksi. Berubah-ubahnya kebijakan peraturan tersebut membuat sulit menetapkan suatu perbuatan memenuhi unsur melawan hukum, apakah menurut UU Kehutanan atau UU Lingkungan.

Dasar hukum yang sering digunakan untuk menjerat pelaku pembalakan liar adalah Inpres Nomor 4 Tahun 2005. Namun, karena penerapannya di lapangan mengalami stagnasi, terdapat perbedaan penafsiran tentang perbuatan yang dilarang dalam pengelolaan hutan serta penerapan sanksi pidana terhadap pelaku yang diduga melakukan pelanggaran hukum.

Bambang juga mengingatkan aparat penegak hukum untuk tidak buru-buru menggolongkan setiap kasus kehutanan sebagai pembalakan liar. "Sebab, pembalakan liar dilakukan oleh orang yang tidak memiliki izin menebang hutan. Kalau ada izinnya, tentu tidak bisa dipidana," kata Bambang.

Namun, Bambang meminta aparat hukum untuk bertindak tegas terhadap setiap perusak hutan lindung atau cagar alam. Sebab, tidak pernah ada izin untuk mengelola kedua jenis hutan tersebut. "Sebenarnya pembalakan ada di situ, tapi kasus itu tidak ditangani. Padahal itu banyak," kata Bambang Widjojanto.

Karena itu, memidanakan penebang di kedua jenis hutan tersebut, menurut Bambang, paling gampang. "Hutan Lorenz Papua itu rusak, begitu juga dengan Taman Nasional Lauser di Aceh. Perusakan di situ kan nggak dapat izin. Itu paling gampang kalau ingin membawa kasus perusakan dengan pembalakan liar," imbuh dia.

Hal senada diungkapkan ahli hukum pidana Rudy Satriyo. Menurut dia, tidak harmonisnya peraturan yang mengatur sumber daya alam adalah penyebabnya. "Sebab, masing-masing instansi menintikberatkan pada kepentingan sektornya, bukan kepentingan bangsa. Sekarang, para penjahat sangat menikmati kekacauan produk hukum tersebut," kata Rudy.

Rudy juga mengusulkan penghapusan izin presiden dalam penyidikan kasus pembalakan liar, sebab hal itu justru menghambat proses hukum. "Itu nggak perlu lagi izin untuk penyidikan dan pemeriksaan karena birokrasi tidak ada cantolannya dengan hukum," kata Rudy.

Menurut dia, jika penyidik membutuhkan keterangan pejabat pemerintah, pejabatnya bisa langsung diperiksa tanpa harus menunggu izin presiden yang belum tentu turun dalam waktu dekat. Dalam penyidikan kasus illegal logging di Riau, penyidik masih menunggu izin SBY untuk memeriksa gubernur dan lima bupati. [Jumat : 23 Nov 2007]

Rabu, 14 November 2007

Jaksa Agung Minta Kejelasan Kasus Pencucian Uang Adelin Lis

[Antara News] - Jaksa Agung, Hendarman Supandji, meminta Polri memperjelas tindak pidana yang mendasari munculnya dugaan pencucian uang terhadap mantan terdakwa kasus pembalakan liar Adelin Lis. "Pencucian uang dari tindak pidana mana? ini kan belum jelas," kata Jaksa Agung ketika ditemui setelah seminar tentang pemberantasan pencucian uang di Jakarta, Rabu .

Jaksa Agung mengatakan hal itu karena kejaksaan berkewajiban mendampingi kepolisian dalam menyidik suatu tindak pidana. Kepolisian hendak menjerat Adelin Lis dengan tuduhan pencucian uang, setelah pengusaha itu divonis bebas dari dakwaan kejahatan hutan dan tindak pidana korupsi.

Jaksa Agung menegaskan, kepolisian bisa menentukan lebih dari satu tindak pidana yang dijadikan tindak pidana asal dari perbuatan pencucian uang yang dilakukan Adelin Lis. Kepolisian, katanya, bisa menyidik beberapa tindak pidana asal pencucian uang secara bersamaan. "Kepolisian bisa menyidik kumulatif," katanya.

Jaksa Agung mencontohkan, kepolisian bisa menyidik tindak pidana baru yang dijadikan sumber pencucian uang, ketika polisi menyidik perkara pidana lain dalam kasus pencucian uang yang sama. Kedua kasus itu bisa diputus dalam waktu yang terpisah, katanya. (*)

Polri: Surat Adelin Lis Palsu

[Antara News] - Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol. Sisno Adiwinoto mengatakan surat pelepasan terdakwa kasus pembalakan liar Adelin Lis dari Rumah Tahanan Negara Medan diduga palsu dan kini polisi telah menemukan dua tersangka kasus terkait pemalsuan surat tersebut.

Kepada wartawan di Jakarta, Rabu, Sisno mengatakan dugaan pemalsuan surat itu muncul setelah penyidik Kepolisian Daerah Sumatera Utara dan Markas Besar Polri memeriksa sejumlah saksi dan barang bukti yang ada.

"Indikasinya, surat eksekusi itu palsu sehingga pemeriksaan akan dilanjutkan hingga ditemukan semua pihak yang terlibat dalam penerbitan surat palsu itu," jelasnya.

Menurut dia, polisi telah menemukan tersangka yang terlibat dalam pemalsuan surat tersebut yakni dua oknum aparat penegak hukum di Medan.

Ia tidak menyebutkan nama dan asal institusi dari kedua oknum penegak hukum tersebut namun ada dugaan mereka karyawan Rumah Tahanan Negara Medan.

Surat pelepasan itu diduga palsu karena tertanggal 3 November 2007 padahal Adelin Lis baru divonis bebas oleh majelis hakim pada 5 November 2007.

Sisno menambahkan, polisi tidak hanya berhenti pada kedua tersangka namun akan menelusuri kasus tersebut lebih detil lagi sampai menemukan dalangnya. "Kita akan meruntut terus kasus ini hingga ke jajaran atas," katanya.

Polri berkepentingan menangkap kembali Adelin Lis karena kendati sudah divonis bebas atas kasus pembalakan liar di Kabupaten Mandailing Natal Sumatera Utara, kini Adelin menjadi tersangka tindak pidana lain yakni pidana pencucian uang, pengalihan kredit perbankan dan pengubahan kawasan hutan menjadi lahan perkebunan.(*)

Selasa, 06 November 2007

Benyamin Mangkudilaga Minta Presiden Non-aktifkan MS Kaban

[Antara News] - Pakar hukum senior Benyamin Mangkudilaga, di Jakarta, Jumat, mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar segera menonaktifkan Menteri Kehutanan MS Kaban, terkait vonis bebasnya tersangka kasus pembalakan liar, Adelin Lis, di Pengadilan Negeri Medan.

Ia mengatakan itu kepada ANTARA, menanggapi pernyataan Wakil Ketua DPR, Soetardjo Soerjoguritno (dari Fraksi PDI Perjuangan), yang juga mendesak Presiden Yudhoyono mengganti MS Kaban.

Desakan kedua tokoh dari jalur berbeda itu terkait sikap MS Kaban yang diduga memengaruhi putusan Pengadilan Negeri (PN) Medan, sehubungan dengan kasus Adelin Lis tersebut.
"Saya harap, nonaktifkan segera yang bersangkutan dan selesaikan secara hukum," kata Benyamin Mangkudalaga singkat.

Egoisme Sektoral. Secara terpisah, ahli hukum dan kriminolog Universitas Indonesia (UI), Dr Adrianus Meliala, mengatakan MS Kaban kini dianggap kontroversial. "Saya kira benar MS Kaban kini dianggap begitu. Sebab, pendapat-pendapatnya sering berada dalam wilayah yang kita kenal dengan sebutan `egoisme sektoral`," ujarnya.

Dalam pandangan Adrianus Meliala, langkah-langkah MS Kaban yang walaupun disebutkannya sebagai 'sesuai dengan hukum dan peraturan', tetapi terlihat ironis. "Terutama ketika kita tahu ada banyak sekali penyimpangan dari peraturan dan undang-undang di lingkup komunitas kehutanan," kata Adrianus Meliala. [6 November 2007]

Jumat, 19 Oktober 2007

Ada Perusahaan Besar di Balik Pembalakan Liar

[Republika] - Pembalakan liar di sejumlah daerah ternyata masih marak. Operasi Illegal Logging yang dilakukan polisi belum sepenuhnya membuahkan hasil. Salah satu daerah yang hutannya banyak dijarah oleh para cukong itu adalah Riau. Wartawan Republika Palupi Annisa Auliani mencoba mendalami belantara hutan di Riau dan melihat operasi pembalakan liar yang dilakukan polisi.

Tak bisa dimungkiri lagi, di balik terjadinya pembalakan liar di Riau, beberapa perusahaan besar dituding menjadi pelaku utama. Hal ini dikarenakan perusahaan besar itu menerima pasokan kayu dari perusahaan-perusahaan yang menjadi mitra kerja mereka. Para mitra kerja ini mengantongi izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) baik yang berada pada hutan alam (HA) maupun hutan tanaman (HT). Tudingan pembalakan liar ini diduga terjadi karena diduga terjadi banyak penyimpangan sejak penerbitan izin diberikan.

Dugaan penyimpangan perizinan itu berupa fakta keluarnya IUPHHK-HT pascaterbitnya peraturan pemerintah (PP) 34/2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan, dan Penggunaan Kawasan Hutan. PP yang terbit pada 8 Juni 2002 itu telah mencabut kewenangan Kepala Daerah untuk mengeluarkan IUPHHK. Kenyataannya, sekurangnya ada 34 IUPKHHK-HT untuk areal seluas 378.299,5 hektare di Riau terbit setelah tanggal itu.

Empat mantan kepala dinas Riau --Azral Rahman, Sudirno, Fauzi Saleh, dan Syuhada Tasman-- sudah ditetapkan menjadi tersangka oleh Polda Riau. Sedangkan pejabat-pejabat lainnya sedang diproses karena menyangkut masalah perizinan dari pemerintah pusat.

Selain waktu penerbitan, izin itu dianggap bermasalah karena pembukaan hutan tanaman industri (HTI) tersebut tidak sesuai persyaratan dan peraturan. Dalam kesemua peraturan itu disebutkan kriteria final lahan yang dapat dijadikan hutan tanaman industri (HTI) adalah lahan kosong, padang alang-alang, atau semak belukar, atau hutan produksi yang tidak produktif. Beberapa kriteria tambahan sempat tercantum, yaitu lahan dengan pohon dominan kurang dari 200 batang, atau maksimal kubikasi tegakan diameter lebih dari 10 sentimeter untuk seluruh jenis kayu di lahan itu adalah lima meter kubik.

Deklarasi Riau Antikejahatan Hutan yang diprakarsai lembaga swadaya masyarakat di bidang lingkungan di Riau pada 6 September 2007, melampirkan data perbandingan kepemilikan lahan dan kebutuhan kayu dari dua perusahaan pulp and paper di Riau. Dua perusahaan itu adalah PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP), anak perusahaan dari Raja Garuda Mas (RGM) yang memproduksi 2 juta ton pulp kering (air dried ton atau (ADT) di Riau.

Hingga 20 Juni 2006, RAPP memiliki 265.407 hektare HTI. Sementara PT Indah Kiat Pulp and Paper (IKPP), anak perusahaan Asia Pulp and Paper (APP) dari grup Sinar Mas, juga memproduksi pulp ADT di Riau pada kisaran 2 juta ton per tahun. Akasia yang menjadi tanaman dalam HTI kedua perusahaan, dapat dipanen dengan rotasi 6 tahunan, dengan riap 30 meter kubik per hektare.

Saat dipanen, volume kayu akasia per hektare adalah 180 meter kubik per hektare. Dengan kebutuhan 25,12 juta meter kubik kayu tiap tahun, dibutuhkan setidaknya 139.556 hektare per tahun. Karena siklus panen akasia adalah enam tahun, untuk memenuhi kebutuhan produksi kedua perusahaan tersebut secara terus-menerus, dibutuhkan luasan lahan enam kali kebutuhan tahunan. Yaitu, 837.333 hektare hutan tanaman akasia.

Lalu dari mana asal pasokan kayu kedua perusahaan. Dugaan sementara dari perusahaan mitra. Sementara, izin perusahaan mitra itu bermasalah. Sebagian izin perusahaan mitra baru terbit pada 2002 dan 2003. Artinya berdasarkan hitungan siklus panen akasia, hingga 2007 belum ada panen hasil tanaman. Jika pasokan kayu berasal dari pembersihan lahan, kriteria pembukaan HTI sepertinya tidak mencapai kisaran angka itu.

Juru bicara RAPP, Troy Pantaw, tidak bersedia memberi tanggapan mengenai dugaan pelanggaran perusahaan mitra mereka. `'Kan masih penelitian,'' ujar Troy. Tetapi, dia mengatakan bahwa penerimaan kayu dari perusahaan mitra selalu melewati prosedur pemeriksaan. Sedangkan director of corporate secretary Sinar Mas Group, Yan Partawijaya, menegaskan pihaknya menyerahkan hal ini kepada polisi untuk menentukan mana yang benar atau mana yang salah. Namun, dia menegaskan kayu-kayu yang datang ke perusahaannya semuanya terdaftar dan bukan dari hasil pembalakan liar. [19 September 2007]

Rabu, 29 Agustus 2007

Kasihan Dek Pak Polisi : Garis Polisi HTI IKPP Dibuka

[Kompas] - Sebagian garis polisi yang selama ini membatasi hutan tanaman industri atau HTI milik perusahaan bubur kertas Indah Kiat Pulp and Paper di Riau dibuka. Hal ini terjadi karena kepolisian tidak mendapatkan bukti-bukti terjadinya pembalakan liar di kawasan tersebut.

"Walaupun belum semuanya, tetapi sebagian police line (garis polisi) sudah dibuka siang ini. Tidak cukup ditemukan bukti untuk pengadilan sehingga polisi menghentikan penyidikan," ujar Direktur Eksekutif Indah Kiat Pulp and Paper (IKPP) G Sulistyanto di Jakarta, Selasa (28/8) siang.

Dihubungi terpisah, Kepala Humas Polda Riau Ajun Komisaris Besar Zulkifli mengatakan, pihaknya belum menerima laporan resmi tentang pelepasan alat-alat milik perusahaan kayu yang disita sehubungan dengan kasus pembalakan liar. "Saya belum mendapat laporan tentang alat-alat milik perusahaan yang sudah dilepaskan," kata Zulkifli saat dihubungi melalui telepon.

Sebelumnya, polisi menuding manajemen Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) dan IKPP memakai kayu ilegal untuk berproduksi. Kawasan hutan tanaman industri, yang terintegrasi dengan perusahaan sekaligus alat-alat berat milik kontraktornya, tidak dapat dimanfaatkan karena dipasangi garis polisi. Padahal, aset itu berizin lengkap dan sah dari Departemen Kehutanan.

Sementara itu, pihak RAPP belum memperoleh informasi pencabutan garis polisi di areal HTI-nya. Manajer Hubungan Masyarakat RAPP Troy Pantouw mengaku belum mengetahui informasi pembukaan garis polisi di sebagian areal HTI yang dipersoalkan.

Sampai saat ini manajemen RAPP masih mendata luas HTI yang disita polisi. "Sementara ini belum ada hal yang khusus, kami masih standby atas persoalan yang sedang berlangsung dan berusaha tetap bertahan," kata Troy.

IKPP merupakan anak perusahaan Sinarmas, sementara RAPP adalah anak perusahaan Raja Garuda Mas. Keduanya merupakan produsen bubur kertas atau pulp terbesar di Indonesia yang memproduksi 4,2 juta ton pulp per tahun.

Sulistyanto mensinyalir isu pembalakan liar itu bermotif persaingan bisnis. "Pangsa pasar bubur kertas dari Indonesia semakin besar, sedangkan pesaing tidak memiliki lagi pasokan bahan baku dan berusaha menghambat pertumbuhan industri bubur kertas Indonesia," ujarnya. [29 Agustus 2007]

Rabu, 15 Agustus 2007

Riau Merdeka dari Bencana Ekologis, Jeda Tebang Solusinya

Aksi Koalisi Rakyat untuk Jeda Tebang Memperingati Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia ke 62

[Wahana Lingkungan Hidup] - Indonesia adalah negeri yang rawan dan rentan terhadap bencana, baik yang berasal dari alam maupun yang terjadi akibat perbuatan manusia. Menurut data Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana & Penanganan Pengungsi (Bakornas PBP), dalam kurun waktu lima tahun, 1998-2004, terjadi 1150 kali bencana, dengan korban jiwa 9900 orang serta kerugian sebesar Rp5922 miliar. Tiga bencana utama adalah banjir (402 kali, korban 1144 jiwa, kerugian Rp647,04 miliar), kebakaran (193 kali, korban 44 jiwa, kerugian Rp137,25 miliar) dan tanah longsor (294 kali, korban 747 jiwa, kerugian Rp21,44miliar).

Bencana seperti banjir, kabut asap, kekeringan dan longsor sering dianggap sebagai bencana alam dan juga takdir. Padahal fenomena tersebut, lebih sering terjadi karena kebijakan yang salah dalam pengelolaan sumberdaya alam, yang terjadi secara akumulatif dan berkelanjutan.

Di Provinsi Riau, bencana banjir, kebakaran hutan dan lahan serta kabut asap sudah seperti “musim baru” selain musim hujan dan musim kemarau. Hal ini dikarenakan intensitasnya yang selalu terjadi setiap tahun dan merupakan indikasi kuat betapa sudah sangat kritis-nya kondisi kerusakan lingkungan hidup di negeri melayu ini.

Proses Deforestasi dan Pengrusakan hutan alam di Riau berlangsung sangat cepat. Selama kurun waktu 24 tahun (1982-2005) Propinsi Riau sudah kehilangan tutupan hutan alam seluas 3,7 Juta hectare. Pada tahun 1982 tutupan hutan alam di Provinsi Riau masih meliputi 78% (6.415.655 hektar) dari luas daratan Propinsi Riau 8.225.199 Ha (8.265.556,15 hektar setelah dimekarkan). Hingga tahun 2005 hutan alam yang tersisa hanya 2,743,198 ha (33% dari luasan daratan Riau). Dalam Kurun waktu tersebut provinsi Riau rata-rata setiap tahun kehilangan hutan alamnya seluas 160.000 Hektar/tahun.

Adanya kesenjangan antara kapasitas terpasang industri perkayuan dengan pasokan bahan baku merupakan pemicu yang sangat berbahaya bagi kelestarian Hutan Alam Riau. Saat ini tercatat Kapasitas Industri Perkayuan di Riau sebesar 22.685.250 m3/tahun, sementara kemampuan Hutan alam berproduksi secara lestari hanya sebesar 14.844.102,41 m3/ tahun, jadi ada kesenjangan kebutuhan bahan baku sebesar 7.841.147,59 m3/tahun ini belum ditambah dengan industri yang tidak terdaftar seperti Shawmill liar yang banyak dijumpai di sepanjang sungai Gaung dan Bukit Kapur.

Industri Perkayuan - Bubur Kertas (Pulp and Paper) PT. RAPP (Raja Garuda Mas Group) dan PT. IKPP (Sinar Mas Group) merupakan Pemangsa kayu alam terbesar Riau, yaitu 17.920.600 ton/tahun sedangkan Plywood, Sawn Timber dan arang bakau membutuhkan bahan baku hanya 4.764.650 m3/tahun. Hal ini terjadi karena kedua perusahaan Bubur Kertas ini gagal untuk menyediakan bahan bakunya dari HTI. Ironis, izin atas lahan yang sudah dikantongi kedua perusahaan ini baik secara mandiri maupun melalui mitranya masing-masing sudah mencapai luas 892.681 hectare untuk APP dan 651.539 hectare untuk APRIL (yang tidak diketahui 388.821 hectare).

Dari kondisi eksisting perizinan dan tingginya permintaan industri kehutanan yang ada di Riau terhadap kayu alam dipastikan eksploitasi dan konversi hutan alam di propinsi Riau akan terus terjadi bahkan memicu terjadinya praktek-praktek Illegal Logging secara besar- besaran. Situasi ini justru akan sangat memperburuk kondisi hutan dan lingkungan di propinsi Riau.

Berdasarkan kondisi tersebut di atas, serta dalam rangka memperingati HUT KEMERDEKAAN Republik Indonesia ke 62 (17 Agustus 2007), yang tergabung dalam Koalisi Rakyat untuk Jeda Tebang, atas nama generasi sekarang dan generasi yang akan datang menyerukan kepada seluruh lapisan masyarakat untuk:

Mendukung dan menyambut baik pemberantasan illegal logging yang saat ini gencar dilakukan oleh Kepolisian Republik Indonesia khususnya di Provinsi Riau.

Mendukung dan ikut memantau proses hukum yang seadil-adilnya bagi para penjahat lingkungan baik kepada cukong kayu (perusahaan) maupun pejabat pemerintah yang terlibat.

Mendukung dan menyambut baik upaya pemerintah dalam perbaikan kondisi lingkungan hidup yang rusak (rehabilitasi) serta mempertahankan tutupan hutan alam yang tersisa dengan segera melaksanakan ”Jeda Tebang Hutan Alam di Indonesia khusunya Provinsi Riau”. Pernyataan bersama ini disusun oleh : Jikalahari, WALHI Riau, KAR, YMI, Yayasan Tesso Nilo, Kudapan, KBH Riau, LBH Pekanbaru, Kaliptra, KPA Jelajah, Alam Sumatra, HAKIKI, LALH, LKHD, Yayasan Elang

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi: Johny S Mundung, Pjs. Direktur Eksekutif WALHI Riau, Email Johny S Mundung, Telepon kantor: +62 - 0761- 22545, Mobile:
Fax: +62 - 0761- 22545. [15 Agustus 2007]

Senin, 13 Agustus 2007

Kisah Raksasa Perambah Hutan

[Persinggahan Wordpress] - Tingginya kebutuhan bahan baku kertas yang diproduksi dua pabrik bubur kertas raksasa: RAPP dan IKPP, membuat luasan hutan Riau kian menyempit. Setiap tahun, tak kurang dari 162 ribu hektare ludes dibabat demi menjamin roda industri terus bergulir.

“Geger nasional” seputar pemberantasan kejahatan pembalakan liar (illegal logging) di Riau, tidak bisa tidak, harus dikaitkan dengan ulah dua raksasa perusahaan bubur kertas (pulp) di ranah puak Melayu itu. Keduanya adalah Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP), anak perusahaan Raja Garuda Mas milik taipan Sukanto Tanoto; dan Indah Kiat Pulp and Paper (IKPP), anak perusahaan Sinar Mas Group milik konglomerat Eka Tjipta Widjaja.

Wajar, kedua perusahaan yang hari-hari ini tengah “menjerit” - lantaran mengalami kesulitan pasokan bahan baku - itu memang punya ketergantungan yang sangat tinggi terhadap pasokan kayu untuk industrinya. RAPP, yang beroperasi sejak 1995 dan memiliki pabrik raksasa di Desa Pangkalan Kerinci, Kabupaten Pelalawan, saat ini punya kapasitas produksi 2 juta ton pulp per tahun. Ditambah kapasitas produksi kertas sebesar 350 ribu ton per tahun, RAPP membutuhkan bahan baku kayu sedikitnya 9,468 juta ton tiap tahun.

IKPP sama saja. Untuk menjaga kontinyuitas roda produksinya, perusahaan yang membuka pabrik di Perawang, Kabupaten Siak, ini membutuhkan 8,623 juta ton kayu per tahun. Padahal, menurut hitungan sampai saat ini, Hutan Tanaman Industri (HTI) milik IKPP hanya mampu memasok 30 persen dari total kebutuhan. Akibatnya, sebagaimana hasil temuan tim investigasi LSM Riau, IKPP “terpaksa” mencomot kekurangan stok bahan baku tersebut dari hutan alam.

Hal serupa, seperti diyakini kalangan aktivis LSM Riau, juga dilakukan oleh RAPP. Apalagi, saat ini RAPP sedang mengejar target agar pada 2010 pihaknya bisa memenuhi kebutuhan bahan baku dari kebun akasia milik sendiri. Untuk mengejar target itulah, menurut Koordinator Jaringan Kerja Penyelamatan Hutan Riau (Jikalahari) Hariansyah, RAPP melalui anak perusahaannya agresif mengajukan perluasan wilayah konsesi.

Dengan logika sederhana saja, lanjut Hariansyah, untuk memenuhi kebutuhan bahan baku sebanyak itu, RAPP - juga IKPP - tentu menggantungkan pada beberapa sumber. Selain dari HTI milik sendiri, mereka juga bekerjasama dengan pemilik HTI lain atau anak perusahaan dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR). Masalahnya, hingga tahun 2005, luas kebun akasia di HTI milik RAPP baru sekitar 275 ribu hektare dengan kemampuan pasok bahan baku hanya 40 persen dari total kebutuhan. “Lalu, dari mana yang 60 persen didapat?” Hariansyah bertanya.

Dari sini, beragam penyimpangan pun ditengarai terjadi. Mengutip data Jikalahari, tercatat sebanyak 20 perusahaan menjadi mitra RAPP untuk memasok bahan baku. Sedangkan IKPP, mitra pemasok bahan bakunya mencapai 100-an perusahaan. Nah, saking banyaknya perusahaan yang “bergotongroyong” untuk menyuplai bahan baku ke RAPP dan IKPP, laju deforestasi di Riau pun meningkat pesat. Mencapai tujuh hektare per menit atau 162 ribu hektare per tahun.

Di tingkat implementasi, masih kata Hariansyah, perusahaan-perusahaan mitra tadi memperoleh izin membuka lahan, untuk kemudian ditanami pohon akasia. Namun, ada pula yang berembel-embel: membuka lahan untuk perkebunan. Persoalannya, banyak dari izin-izin tersebut yang diketahui bermasalah, lantaran hanya dimanfaatkan untuk mendapatkan kayunya doang. Bukan menanam akasia.

Untuk mengungkap praktek curang tersebut, sekaligus membuktikan sinyalemen tadi, kalangan LSM - Walhi, Jikalahari, WWF, dll. - kemudian membentuk Eye of Forest (EoF) pada 2003. Inilah lembaga investigasi independen yang ditugaskan melakukan penyelidikan dan mengumpulkan bukti-bukti pelanggaran yang dilakukan oleh kedua perusahaan raksasa tersebut. Dalam banyak kesempatan, mereka turun ke lapangan untuk melakukan “rekam jejak” terhadap praktek culas RAPP dan IKPP, berikut para mitranya.

Ringkas kisah, dari hasil investigasi lapangan, mereka berhasil mengumpulkan segepok bukti. Bermacam “dosa” pabrik bubur kertas itu pun diinventarisir oleh EoF. Komplet. Mulai dari izin yang dikeluarkan secara menyimpang oleh bupati-bupati di Riau, penyalahgunaan izin oleh perusahaan, hingga pelanggaran lingkungan seperti masalah pengolahan limbah industri.

Terkait perizinan, mari kita tengok apa yang dilakukan RAPP di Semenanjung Kampar. Area yang notabene berupa lahan gambut itu mereka bagi menjadi dua blok, yakni: Blok Serapung seluas 150.920 hektare dan Blok Pulau Padang seluas 64.870 hektare. Kedua blok itu memanjang dari Pelalawan di timur, berbelok masuk wilayah Siak di timur laut, hingga mentok di Pulau Padang yang masuk wilayah

Bengkalis. Dari pengamatan Jikalahari, selain berbatasan dengan pantai, lahan tersebut sangat dekat dengan kawasan Suaka Margasatwa Tasik Belat, Tasik Serkap, dan Tasik Tanjung Padang.

Banyak yang janggal pada kawasan yang juga disebut Kampar Peninsula itu. Mula-mula, melalui rekomendasi Gubernur Riau HM Rusli Zainal No. 522/Ekbang/1308 tanggal 20 Agustus 2003, Blok Serapung sebenarnya dicadangkan untuk pembangunan hutan tanaman bagi PT Nusa Prima Manunggal (NPM). Sedangkan Blok Pulau Padang, berdasarkan surat rekomendasi Gubernur Riau No. 522.2/Ekbang/1450 tanggal 13 September 2003, konsesinya dimiliki oleh PT Selaras Abadi Utama (SAU).

Aneh bin ajaib. Hanya dengan surat pernyataan kuasa direksi PT NPM dan SAU tertanggal 19 Januari 2004, kedua blok tersebut sudah langsung berbalik nama, bulat-bulat menjadi hak RAPP. “Padahal, menurut prosedur normal, rekomendasi yang lama dicabut dulu, baru RAPP bisa mengurus izin yang baru,” tutur Hariansyah.

Berdasarkan surat tukar guling itulah Menteri Kehutanan lantas mengeluarkan rekomendasi. Melalui surat No. S.143/Menhut-VI/2004 tanggal 29 April 2004 tentang Penambahan/Perluasan Areal Kerja Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (IUPHHK-HT), lahan tersebut sah menjadi milik RAPP. Bahkan, tiga bulan berselang, terbit surat susulan dari Gubernur Rusli Zainal yang mengukuhkan hak RAPP itu melalui surat dinas bernomor 522/Ekbang/33.10 tanggal 2 Juli 2004 tentang Perubahan Rekomendasi Penambahan/Perluasan Areal Kerja IUPHHK-HT PT NPM dan SAU.

Celakanya, setelah mengantongi rekomendasi dari Pak Menteri dan Pak Gubernur, RAPP merasa boleh melakukan apa saja di Semenanjung Kampar. Sebuah jalan koridor sepanjang 85 kilometer langsung dibangun. Bahkan, 25 kilometer di antaranya dibangun selebar 100 meter, membelah hutan alam dan kawasan lindung Gambut di Semenanjung Kampar menuju Kawasan Industri Buton di mana RAPP membangun pelabuhan sendiri.

Idem ditto dengan RAPP, sepak terjang IKPP juga sama kacaunya. PT Arara Abadi (AA), anak perusahaan IKPP, bahkan menyimpan catatan panjang berkonflik dengan masyarakat. Di Desa Pantai Cermin, Kecamatan Tapung, Kabupaten Kampar, misalnya, konflik berkepanjangan antara PT AA dengan masyarakat sudah terjadi sejak delapan tahun silam, memperebutkan lahan seluas 6.575 hektare.

Konflik yang lebih parah terjadi lima tahun silam di Desa Betung, Angkasa, dan Balam Merah di Kabupaten Pelalawan. Bentrok fisik antara petugas pengamanan yang disewa PT AA dan masyarakat tak terelakkan. Empat orang tewas. Masyarakat lalu membalas dengan memblokade jalan masuk ke area tebang milik PT AA dan menyandera tujuh truk.

Sejauh ini, konflik utamanya dipicu oleh persoalan tata batas kelola masyarakat dengan area kelola perusahaan. Konflik kerap terjadi hanya karena tapal batas yang tidak pernah jelas. Bentrokan fisik antara warga Desa Tasik Serai, Kecamatan Pinggir, Kabupaten Bengkalis dengan sekuriti PT AA contohnya. Konflik ini dipicu oleh ketidakjelasan tapal batas antara perkebunan sawit milik warga desa dengan konsesi PT AA.

Saat itu, kesepakatan untuk saling menahan diri di antara kedua pihak sempat dicapai, sembari menunggu penyelesaian menyangkut tapal batas wilayah kelola masing-masing. Namun, kesepakatan tersebut dilanggar menyusul tindakan PT AA yang memakai sekuriti untuk mengintimidasi warga desa dan mencabut pohon sawit yang telah ditanami warga. Lagi, bentrok terjadi dan memakan korban dari kedua pihak.

Diakui, iklim penegakan hukum dalam pemberantasan illegal logging di Riau mulai berubah semenjak Kapolda Riau dijabat Brigjen Pol. Sutjiptadi. Berdasarkan hasil temuan anggotanya di lapangan, Kapolda sangat yakin, RAPP maupun IKPP memang melakukan pelanggaran. “Kedua perusahaan itu banyak melanggar ketentuan menyangkut bahan bakunya,” kata Sutjiptadi. Menurut Kapolda, pelanggaran yang kerap dilakukan adalah memanipulasi dokumen. Jenis kayu besar dikelompokkan menjadi kayu kecil. “Ini merugikan negara dari sektor pajak, serta pungutan dana reboisasi,” ujarnya.

Selain menyegel pabrik dengan memasang police line, jajaran Polda Riau telah pula meminta keterangan dari direktur utama RAPP Rudi Fajar dan direktur senior IKPP Hasanuddin. “Tunggu saja, semua saksi kami mintai keterangan untuk mengumpulkan bukti-bukti. Pokoknya, percayakan pada kami, karena tidak ada kasus yang akan ditutup-tutupi,” seru Kapolda Sutjiptadi.

So pasti, sebagai pihak yang terang-terangan “dibidik” polisi terkait kasus pembalakan liar, RAPP maupun IKPP punya setumpuk argumen untuk membantah. RAPP bahkan tak perlu berbusa-busa mulut untuk beradu argumen, lantaran - pada 8 Agustus lalu - perusahaan ini menerima hasil surveillance audit I Sertifikasi Pengelolaan Hutan Tanaman Lestari (PHTL) dari Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) di Jakarta.

Terang saja, kesempatan itu dimanfaatkan dengan amat baik oleh Dirut RAPP Rudi Fajar untuk mengerek citra perusahaannya yang anjlok dalam beberapa bulan terakhir. Menurut Rudi, RAPP sebagai perusahaan produsen pulp dan kertas terbesar di Asia Tenggara, selama ini selalu menerapkan strategi bisnis berkelanjutan (sustainable development). Inilah strategi yang menyeimbangkan tiga unsur pokok, yang dikenal dengan konsep 3P: planet, people dan profit.

Tidak cuma itu. Komitmen dan pelaksanaan sustainable development oleh RAPP telah pula mendapatkan pengakuan dunia. Salah satunya, diterimanya RAPP sebagai satu-satunya anggota The World Business Council for Sustainable Developments (WBCSD) dari Indonesia. Rudi menambahkan, tahun 2006 dan awal 2007, RAPP melalui perusahaan induknya: APRIL, juga telah menjadi salah satu mitra dari United Nations Environmental Programe-Champions of The Earth Awards.

RAPP juga menjadi salah satu penandatangan United Nations Global Compact untuk berbagi pengalaman terkait pelaksanaan global compact principles. “Kemitraan dalam berbagai program internasional dan diterimanya RAPP dalam pentas WBCSD, menunjukkan bahwa RAPP kini sudah mendapatkan pengakuan masyarakat dunia,” kata Rudi Fajar, dengan bangga.

Jadi? Bola kini kembali ke Kapolda Sutjiptadi. Adakah bukti-bukti yang dimiliki jajarannya mampu mementahkan klaim Rudi - dan mungkin juga Hasanuddin. Atau, bisa saja bukti itu memang segepok, tetapi tidak cukup kuat buat memenjarakan terdakwa, sebagaimana terjadi di banyak persidangan kasus pembalakan liar di bumi Nusantara. [13 Agustus 2007]

Senin, 16 Juli 2007

Adnan Buyung: Jerat Pembalakan Liar dengan UU Tipikor

[Detik Dotcom] - Illegal logging alias pembalakan liar tidak bisa dilihat sebagai kejahatan hutan saja. Penikmat pembalakan liar bisa dijerat oleh UU Tindak Pidana Korupsi. "Korupsi itu adalah sebuah kriminal yang sangat menyebar luas, di mana oknum pegawai pemerintah menerima secara rutin uang suap sebagai imbalan untuk pemberian hak konsesi dan izin pemanfaatan hasil hutan," kata praktisi hukum Adnan Buyung Nasution.

Hal itu disampaikannya dalam seminar 'Penanganan Tindak Pidana Kehutanan dan Tindak Pidana Pencucian Uang dalam Perspektif Tipikor' di Kejagung, Jl Sultan Hasanuddin, Jakarta Selatan, Senin (16/7/2007).

Menurut Buyung, selain para pelaku di lapangan, penanganan kejahatan kehutanan harus menjangkau pelaku di luar pengusaha industri kehutanan. Otak pembalakan liar adalah pengusaha. "Contohnya saja Soekanto Tanoto (pemilik grup usaha Raja Garuda Mas), dia itu tidak terjangkau hukum. Dia itu raja hutan," ujarnya.

Buyung mengimbau dilakukan audit kehutanan oleh Kementerian LH dan BPK. Audit meliputi seluruh perizinan yang sudah dikeluarkan dan berbagai aspek lainnya dalam bidang kehutanan, baik di pusat maupun di daerah. "Apabila hasil audit menunjukkan ada pelanggaran, maka para penyidik kepolisian bekerja sama dengan kejaksaan dan instansi terkait, seperti Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)," paparnya. [16 Juli 2007]

Kapolri-Menhut Berdamai, Cukong Kayu Ketar-ketir

[Sinar Indonesia Baru] - Menteri Kehutanan MS Kaban dan Kapolri Jend (Pol) Sutanto berdamai. Menyatukan persepsi dalam pemburuan para cukong kayu yang selama ini melakukan pembalakan liar (illegal logging). Tak heran, para cukong kayu mulai ketar-ketir.
Langkah ini dinilai pemerhati masalah kehutanan dan lingkungan. Yayat Afianto, sebagai langkah tepat, supaya para cukong kayu yang selama ini seakan-akan ‘kebal hukum’ bisa secepatnya dimeja-hijaukan. Adanya persepsi berbeda antara Kapolri dengan Menhut selama ini, menurut dia malah menguntungkan cukong kayu yang memang ‘bermain’.

Wajar jika publik mempertanyakan kenapa kedua petinggi di dua instansi yang beberapa pekan terakhir disorot, karena sama-sama mempertahankan pendiriannya masing-masing malah saling mendukung satu sama lain.

Menhut MS Kaban tersenyum ketika diminta berkomentar soal ‘perseteruannya’ dengan Kapolri terkait penanganan illegal logging di Riau dan Sumatera Utara. “Damai? Memang kenapa? Selama ini kita baik-baik saja kok, saya dan Kapolri sering berkoordinasi soal penanganan illegal logging”, ujar Kaban. Menhut pun membantah dirinya akan dipanggil sebagai saksi dalam kasus illegal logging di Riau dan hal itu di dukung Kepala Badan Reserse Kriminal Polri, Komjen Pol Bambang Hendarso Danuri.

Menurut dia, belum ada rencana untuk memeriksa Menhut. “Tidak. Tidak ada pemeriksaan sebagai saksi”, kata Bambang. Baik Menhut maupun Bambang menyatakan yang ada selama ini memang mis komunikasi dan perbedaan persepsi soal illegal logging dengan aparat di daerah. Pertemuan Menhut dan Kapolri Rabu (11/7) merupakan pertemuan biasa membahas perkembangan proses operasi illegal logging yang diatur oleh Inpres itu.

“Pertemuan itu inisiatif kita berdua. Intinya Polisi - Dephut sepakat memberantas illegal logging dan semua kejahatan kehutanan. Kita juga fokus pada pengusaha yang tak punya izin, yang punya izin harus dilindungi, kalau melanggar ya dihukum”, kata Kaban. Menhut dan Polri sempat terlibat polemik terbukti soal pemberantasan pembalakan liar di Riau. Bahkan, Kaban meminta Kapolri mengevaluasi Kapolda Riau Brigjen Pol Soetjiptadi karena menjadikan pengusaha legal sebagai tersangka, sedang para penebang hutan yang sesungguhnya banyak tidak ditindak.

Kapolda Riau Brigjen Sutjiptad sendiri belum meralat pernyataannya untuk meminta Menhut sebagai saksi sehubungan dengan pemberian izin pemanfaatan kayu (IPK) kepada PT Arara Abadi (anak perusahaan Sinar Mas Group) di Riau. Menhut juga disinyalir memberikan surat sakti kepada Riaupulp untuk mempersiapkan Hutan Tanaman Industri (HTI)nya. Sampai saat ini pihak Riaupulp mengaku belum mengetahui kasus tersebut sementara pihak Sinar Mas menyatakan perusahaan Arara tak melakukan illegal logging tapi didakwa melakukan perusakan lingkungan.

Namun sumber wartawan menyatakan ini bukan agenda pengusaha lokal, melainkan upaya pesaing dua perusahaan pulp and paper terbesar di Asia yakni Sinar Mas (salah satunya Indah Kiat) dan Raja Garuda Mas (Riaupulp) untuk menghambat laju operasionalnya di kancah bisnis pulp and paper.

Menurut dia, Indonesia (kelompok Sinar Mas dan Riaupulp) No 1 di Asia dan nomor 5 di dunia. “Jadi sangat mungkin kedua pihak yang sering jadi sasaran tembak itu diadu. Ini bisa jadi distorsi sehingga lambat laun menurunkan kemampuan operasional. Yang kuat malah kompetitornya yakni Amerika dan Eropa”.

Ketakutan negara industri akan besarnya potensi perusahaan pulp and paper Indonesia sangat beralasan. Pasalnya, kapasitas mesin pabrik yang dimiliki Indonesia baru berusia 20 tahun sedangkan mesin pabrik Eropa dan Amerika sudah 100 tahun. “Jelas ini jadi ketakutan luar biasa bagi mereka”, jelasnya. (16 Juli 2007).

Jumat, 11 Mei 2007

Anggota DPR Tolak Silaturahmi Dengan RGM

[Berita Sore] - Anggota komisi VII DPR -RI dari Fraksi Bintang Reformasi ( FPBR) Ade Daud Nasution secara tegas menolak ajakan silaturahmi pihak PT Raja Garuda Mas(RGM) sehubungan dengan gencarnya pernyataan Ade Daud Nasution di berbagai media menyangkut kasus BLBI yang melibatkan Sukanto Tanoto, yang disebutkan Adesudah menjadi wrga negara kehormatanBrasil setelah menginvestasikan asetnya sebesar Rp 18.triliun.

Ade mengungkapkan, ajakan silaturahmiPT RGM untuk dirinya tertuang dalam surat PT RGM Indonesia tertanggal30 April 2007 yang ditandatangani Tjandra Putrasebagai Vice PresidenFor Corporate Affair RGM.

“Untuk apa dia mengajak saya silaturahmi? Saya tentu tidak akan penuhi ajakan itu sebab apa yang saya beberkan semuanya fakta, ” kataAde Daud Nasutiondi pers room gedung DPR, Jakarta, Kamis (10/05).

Disamping mengajak Ade bersilaturahmi,Tjandra Putra juga mengakui tidak tahu persis apakah ‘Sukanto Tanoto’ yang dimaksudkan Ade dalam pernyataannya adalah Sukanto Tanoto pendirigrup RGM. Jika Sukanto Tanoto yang dimaksud benar pendiri RGM,Tjandra Putra menyakinkanbahwa Sukanto Tanototerlahir sebagai WNI dan hingga saat ini merupakan kewarganegaraan yang dimiliki dan sampai saat ini Sukanto Tanotobelum pernah diangkat/ ditujunk sebagai warga kerhormatan Brasil.Soal BLBI, Tjandra memohon kepada Ade untuk dapat mengacu pada daftar koruptor yang telah diumumkan Kejaksaan Agung.

Bantahan yang diterima dari RGM, langsung ditanggapin Ade bahwa apa yang dilansirnya punya bukti dan fakta. ” Saya tentu punya data dan bukti akurat, kalau tidak ada kok saya diajak silaturahmi,” ujarnya.

Untuk membuktikan keberadaan Sukanto Tanoto, Ade Daud menantang Jaksa Agung yang baru Hendarman untuk melakukan investigasi dan penyelidikan. Kasus BLBI ini tuntas dan Jaksa Agung yang baru jangan hanya mengeluarkan statemen tanpa aksi. ” Jika Jaksa Agung berani dan hebat, kasus BLBI ini harus tuntas. Boyong semua koruptor yang ada di luarnegri itu,” katanya.

ditempat terpisah Ketua DPP Ikatan Penasehat Hukum Indonesia ( IPHI)Haposan Hutagalung, SH juga mengharapkan penuntasan kasus BLBI ini segera dilakukan Jaksa Agung yang baru.” Penuntasan kasus BLBI adalah momentum untuk keberhasilan menuntaskan kasus korupsi,” katanya menjawab Berita.

Haposan yakin dengan sosok Hendaman Supandjiyang dikenalnya sebagai aparat penegak hukum yang berani dan konsisten, tidak akan bisa diintervensi oleh kekuatan manapun. ” Ketenangan dan wibawa Hendarmansudah teruji , dan kita harapkansikap beliau selama ini tidak kendur tetapi makin berani demi penangakan hukum sebagai salah satu agenda utama reformasi,” ujar Haposan Hutagalung. [11 Mei 2007]

Senin, 09 April 2007

Terkait Ilegal Logging Polda Riau Periksa Petinggi PT RAPP

[Info Sumatra Dotcom] - Kasus penampungan kayu haram di PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) terus didalami. Polda Riau telah melakukan pemeriksaan sejumlah petinggi di perusahaan kertas milik Taipian Sukanto Tanoto tersebut.

Pemeriksaan petinggi PT RAPP ini dibenarkan Kabid Humas Polda Riau, AKBP Zulkifli saat ditemui detikcom, Kamis (6/4/2007)di ruang kerjanya, Jl Sudirman, Pekanbaru. Menurut Zul, pemeriksaan ini masih terkait tindak lanjut atas penyegelan bahan baku perusahaan oleh tim Mabes Polri.

"Sejumlah petinggi setingkat direktur di PT RAPP sudah menjalani pemeriksaan. Namun siapa nama-nama petinggi tersebut,masih perlu saya konfirmasi lagi kepada tim penyidiknya," kata Kabis Humas Polda Riau.

Walau sudah ada pemeriksaan para petinggi di sejumlah perusahaan kertas milik Raja Garuda Mas ini, namun Zul menyebut sifatnya baru tahap pemeriksaan sebagai saksi. "Pemeriksaan yang dilakukan baru tingkat sebagai saksi," kata Zul.

Sebelumnya Kapolda Riau, Brigjen Sutjiptadi, menyebut, dalam kasus pemberantasan ilegal logging di perusahana RAPP, pihaknya sudah menyelesaikan 33 berkas perkara yang siap diajukan ke kejaksaan. Berkas perkara ini tahap awal sebagian para sopir truk
pengangkut kayu balak tanpa dokumen. Termasuk juga sejumlah manejer di perusahaan yang terlibat dalam manipuasli dokumen kayu. "Dalam waktu dekat kasus ini akan segara kita limpahkan ke kejaksaan," kata Kapolda Riau.

Sebagaimana pernah dijelaskan Kapolda Riau, di penumpukan bahan baku PT RAPP, ditemukan jenis kayu besar dikelompokan dalam jenis kayu kecil (chip). Ini dilakukan pihak perusahaan guna menghindari pembayaran pajak dana iuran hasil hutan termasuk dana reboisasi (DR). Modus manipulasi ini, sejumlah kayu besar dengan panjang 8 m sengaja dipotong-potong menjadi ukuran 1,36 cm.

"Dengan adanya pemotongan kayu ini, makan jenis kayu besar masuk dalam kelompok jenis kayu kecil. Ini dilakukan guna menghindari pajak yang besar. Sebab, pajak yang dikenakan terhaap jenis kayu besar tentunya lebih besar dibanding jenis kayu kecil," kata Sutjiptadi. (9 April 2007).

Selasa, 27 Februari 2007

Polisi Segal Kayu Milik PT Riau Andalan Pulp & Paper

[Tempo Interaktif] - Setelah menahan 27 sopir pengangkut kayu ilegal dua hari lalu, Kepolisian Daerah Riau menyegel 1.300 batang kayu bahan baku kertas PT Riau Andalan Pulp & Paper kemarin. Polisi menduga kuat tumpukan kayu ini hasil penjarahan di lahan gambut Semenanjung Kampar.

“Penyegelan ini untuk mengamankan barang bukti dan mempermudah penyelidikan,” kata juru bicara Polda Riau Ajun Komisaris Besar Zulkifli di Pekanbaru pada Jumat (16/2). Saat ini polisi masih menghitung kembali kayu hasil pembalakan liar untuk memasok pabrik bubur kertas milik pengusaha Sukanto Tanoto ini.

Menurut Zulkifli, ribuan batang kayu yang diangkut dari Semenanjung Kampar itu tidak dilengkapi dokumen sama sekali. Polisi menduga aksi seperti ini sudah berlangsung sebelumnya. Modusnya kayu hasil pembalakan liar ditumpuk bersama kayu cip ukuran sedang dan besar di kawasan pabrik PT Riau Andalan Pulp & Paper.

Kasus ini bermula saat Kepolisian Sektor Palalawan menahan 25 truk yang mengangkut 1.300 batang kayu di Jalur Lintas Timur Pangkalan Kerinci, Palalawan pada 9 Februari lalu. Tidak satu pun dokumen yang menyertai kayu-kayu ini. Selain menangkap sopir, polisi juga menahan dua orang staf PT Madu Koro.

Untuk mengusut kasus ini, Markas Besar Polri menerjunkan tim yang terdiri dari Kepala Badan Reserse Kriminal Komisaris Jenderal Hendarso, Direktur Tindak Pidana Tertentu Brigardir Jenderal Tukarno, Kepala Polda Riau Brigadir Jenderal Sutjiptadi, dan tim penyidik Markas Besar Polri. “Kasus ini memang menjadi prioritas,” katanya.

Menanggapi penyegelan kayu ini. Humas PT Riau Andalan Pulp & Paper, Nandik tidak bersedia memberi komentar. Begitu juga tentang dugaan perusahaan milik bos Raja Garuda Mas ini menampung kayu hasil penjarahan hutan. “Kami belum bisa berkomentar karena kasus ini tengah ditangani kepolisian,” kata Nandik. [27 Februari 2007]