Senin, 13 Agustus 2007

Kisah Raksasa Perambah Hutan

[Persinggahan Wordpress] - Tingginya kebutuhan bahan baku kertas yang diproduksi dua pabrik bubur kertas raksasa: RAPP dan IKPP, membuat luasan hutan Riau kian menyempit. Setiap tahun, tak kurang dari 162 ribu hektare ludes dibabat demi menjamin roda industri terus bergulir.

“Geger nasional” seputar pemberantasan kejahatan pembalakan liar (illegal logging) di Riau, tidak bisa tidak, harus dikaitkan dengan ulah dua raksasa perusahaan bubur kertas (pulp) di ranah puak Melayu itu. Keduanya adalah Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP), anak perusahaan Raja Garuda Mas milik taipan Sukanto Tanoto; dan Indah Kiat Pulp and Paper (IKPP), anak perusahaan Sinar Mas Group milik konglomerat Eka Tjipta Widjaja.

Wajar, kedua perusahaan yang hari-hari ini tengah “menjerit” - lantaran mengalami kesulitan pasokan bahan baku - itu memang punya ketergantungan yang sangat tinggi terhadap pasokan kayu untuk industrinya. RAPP, yang beroperasi sejak 1995 dan memiliki pabrik raksasa di Desa Pangkalan Kerinci, Kabupaten Pelalawan, saat ini punya kapasitas produksi 2 juta ton pulp per tahun. Ditambah kapasitas produksi kertas sebesar 350 ribu ton per tahun, RAPP membutuhkan bahan baku kayu sedikitnya 9,468 juta ton tiap tahun.

IKPP sama saja. Untuk menjaga kontinyuitas roda produksinya, perusahaan yang membuka pabrik di Perawang, Kabupaten Siak, ini membutuhkan 8,623 juta ton kayu per tahun. Padahal, menurut hitungan sampai saat ini, Hutan Tanaman Industri (HTI) milik IKPP hanya mampu memasok 30 persen dari total kebutuhan. Akibatnya, sebagaimana hasil temuan tim investigasi LSM Riau, IKPP “terpaksa” mencomot kekurangan stok bahan baku tersebut dari hutan alam.

Hal serupa, seperti diyakini kalangan aktivis LSM Riau, juga dilakukan oleh RAPP. Apalagi, saat ini RAPP sedang mengejar target agar pada 2010 pihaknya bisa memenuhi kebutuhan bahan baku dari kebun akasia milik sendiri. Untuk mengejar target itulah, menurut Koordinator Jaringan Kerja Penyelamatan Hutan Riau (Jikalahari) Hariansyah, RAPP melalui anak perusahaannya agresif mengajukan perluasan wilayah konsesi.

Dengan logika sederhana saja, lanjut Hariansyah, untuk memenuhi kebutuhan bahan baku sebanyak itu, RAPP - juga IKPP - tentu menggantungkan pada beberapa sumber. Selain dari HTI milik sendiri, mereka juga bekerjasama dengan pemilik HTI lain atau anak perusahaan dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR). Masalahnya, hingga tahun 2005, luas kebun akasia di HTI milik RAPP baru sekitar 275 ribu hektare dengan kemampuan pasok bahan baku hanya 40 persen dari total kebutuhan. “Lalu, dari mana yang 60 persen didapat?” Hariansyah bertanya.

Dari sini, beragam penyimpangan pun ditengarai terjadi. Mengutip data Jikalahari, tercatat sebanyak 20 perusahaan menjadi mitra RAPP untuk memasok bahan baku. Sedangkan IKPP, mitra pemasok bahan bakunya mencapai 100-an perusahaan. Nah, saking banyaknya perusahaan yang “bergotongroyong” untuk menyuplai bahan baku ke RAPP dan IKPP, laju deforestasi di Riau pun meningkat pesat. Mencapai tujuh hektare per menit atau 162 ribu hektare per tahun.

Di tingkat implementasi, masih kata Hariansyah, perusahaan-perusahaan mitra tadi memperoleh izin membuka lahan, untuk kemudian ditanami pohon akasia. Namun, ada pula yang berembel-embel: membuka lahan untuk perkebunan. Persoalannya, banyak dari izin-izin tersebut yang diketahui bermasalah, lantaran hanya dimanfaatkan untuk mendapatkan kayunya doang. Bukan menanam akasia.

Untuk mengungkap praktek curang tersebut, sekaligus membuktikan sinyalemen tadi, kalangan LSM - Walhi, Jikalahari, WWF, dll. - kemudian membentuk Eye of Forest (EoF) pada 2003. Inilah lembaga investigasi independen yang ditugaskan melakukan penyelidikan dan mengumpulkan bukti-bukti pelanggaran yang dilakukan oleh kedua perusahaan raksasa tersebut. Dalam banyak kesempatan, mereka turun ke lapangan untuk melakukan “rekam jejak” terhadap praktek culas RAPP dan IKPP, berikut para mitranya.

Ringkas kisah, dari hasil investigasi lapangan, mereka berhasil mengumpulkan segepok bukti. Bermacam “dosa” pabrik bubur kertas itu pun diinventarisir oleh EoF. Komplet. Mulai dari izin yang dikeluarkan secara menyimpang oleh bupati-bupati di Riau, penyalahgunaan izin oleh perusahaan, hingga pelanggaran lingkungan seperti masalah pengolahan limbah industri.

Terkait perizinan, mari kita tengok apa yang dilakukan RAPP di Semenanjung Kampar. Area yang notabene berupa lahan gambut itu mereka bagi menjadi dua blok, yakni: Blok Serapung seluas 150.920 hektare dan Blok Pulau Padang seluas 64.870 hektare. Kedua blok itu memanjang dari Pelalawan di timur, berbelok masuk wilayah Siak di timur laut, hingga mentok di Pulau Padang yang masuk wilayah

Bengkalis. Dari pengamatan Jikalahari, selain berbatasan dengan pantai, lahan tersebut sangat dekat dengan kawasan Suaka Margasatwa Tasik Belat, Tasik Serkap, dan Tasik Tanjung Padang.

Banyak yang janggal pada kawasan yang juga disebut Kampar Peninsula itu. Mula-mula, melalui rekomendasi Gubernur Riau HM Rusli Zainal No. 522/Ekbang/1308 tanggal 20 Agustus 2003, Blok Serapung sebenarnya dicadangkan untuk pembangunan hutan tanaman bagi PT Nusa Prima Manunggal (NPM). Sedangkan Blok Pulau Padang, berdasarkan surat rekomendasi Gubernur Riau No. 522.2/Ekbang/1450 tanggal 13 September 2003, konsesinya dimiliki oleh PT Selaras Abadi Utama (SAU).

Aneh bin ajaib. Hanya dengan surat pernyataan kuasa direksi PT NPM dan SAU tertanggal 19 Januari 2004, kedua blok tersebut sudah langsung berbalik nama, bulat-bulat menjadi hak RAPP. “Padahal, menurut prosedur normal, rekomendasi yang lama dicabut dulu, baru RAPP bisa mengurus izin yang baru,” tutur Hariansyah.

Berdasarkan surat tukar guling itulah Menteri Kehutanan lantas mengeluarkan rekomendasi. Melalui surat No. S.143/Menhut-VI/2004 tanggal 29 April 2004 tentang Penambahan/Perluasan Areal Kerja Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (IUPHHK-HT), lahan tersebut sah menjadi milik RAPP. Bahkan, tiga bulan berselang, terbit surat susulan dari Gubernur Rusli Zainal yang mengukuhkan hak RAPP itu melalui surat dinas bernomor 522/Ekbang/33.10 tanggal 2 Juli 2004 tentang Perubahan Rekomendasi Penambahan/Perluasan Areal Kerja IUPHHK-HT PT NPM dan SAU.

Celakanya, setelah mengantongi rekomendasi dari Pak Menteri dan Pak Gubernur, RAPP merasa boleh melakukan apa saja di Semenanjung Kampar. Sebuah jalan koridor sepanjang 85 kilometer langsung dibangun. Bahkan, 25 kilometer di antaranya dibangun selebar 100 meter, membelah hutan alam dan kawasan lindung Gambut di Semenanjung Kampar menuju Kawasan Industri Buton di mana RAPP membangun pelabuhan sendiri.

Idem ditto dengan RAPP, sepak terjang IKPP juga sama kacaunya. PT Arara Abadi (AA), anak perusahaan IKPP, bahkan menyimpan catatan panjang berkonflik dengan masyarakat. Di Desa Pantai Cermin, Kecamatan Tapung, Kabupaten Kampar, misalnya, konflik berkepanjangan antara PT AA dengan masyarakat sudah terjadi sejak delapan tahun silam, memperebutkan lahan seluas 6.575 hektare.

Konflik yang lebih parah terjadi lima tahun silam di Desa Betung, Angkasa, dan Balam Merah di Kabupaten Pelalawan. Bentrok fisik antara petugas pengamanan yang disewa PT AA dan masyarakat tak terelakkan. Empat orang tewas. Masyarakat lalu membalas dengan memblokade jalan masuk ke area tebang milik PT AA dan menyandera tujuh truk.

Sejauh ini, konflik utamanya dipicu oleh persoalan tata batas kelola masyarakat dengan area kelola perusahaan. Konflik kerap terjadi hanya karena tapal batas yang tidak pernah jelas. Bentrokan fisik antara warga Desa Tasik Serai, Kecamatan Pinggir, Kabupaten Bengkalis dengan sekuriti PT AA contohnya. Konflik ini dipicu oleh ketidakjelasan tapal batas antara perkebunan sawit milik warga desa dengan konsesi PT AA.

Saat itu, kesepakatan untuk saling menahan diri di antara kedua pihak sempat dicapai, sembari menunggu penyelesaian menyangkut tapal batas wilayah kelola masing-masing. Namun, kesepakatan tersebut dilanggar menyusul tindakan PT AA yang memakai sekuriti untuk mengintimidasi warga desa dan mencabut pohon sawit yang telah ditanami warga. Lagi, bentrok terjadi dan memakan korban dari kedua pihak.

Diakui, iklim penegakan hukum dalam pemberantasan illegal logging di Riau mulai berubah semenjak Kapolda Riau dijabat Brigjen Pol. Sutjiptadi. Berdasarkan hasil temuan anggotanya di lapangan, Kapolda sangat yakin, RAPP maupun IKPP memang melakukan pelanggaran. “Kedua perusahaan itu banyak melanggar ketentuan menyangkut bahan bakunya,” kata Sutjiptadi. Menurut Kapolda, pelanggaran yang kerap dilakukan adalah memanipulasi dokumen. Jenis kayu besar dikelompokkan menjadi kayu kecil. “Ini merugikan negara dari sektor pajak, serta pungutan dana reboisasi,” ujarnya.

Selain menyegel pabrik dengan memasang police line, jajaran Polda Riau telah pula meminta keterangan dari direktur utama RAPP Rudi Fajar dan direktur senior IKPP Hasanuddin. “Tunggu saja, semua saksi kami mintai keterangan untuk mengumpulkan bukti-bukti. Pokoknya, percayakan pada kami, karena tidak ada kasus yang akan ditutup-tutupi,” seru Kapolda Sutjiptadi.

So pasti, sebagai pihak yang terang-terangan “dibidik” polisi terkait kasus pembalakan liar, RAPP maupun IKPP punya setumpuk argumen untuk membantah. RAPP bahkan tak perlu berbusa-busa mulut untuk beradu argumen, lantaran - pada 8 Agustus lalu - perusahaan ini menerima hasil surveillance audit I Sertifikasi Pengelolaan Hutan Tanaman Lestari (PHTL) dari Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) di Jakarta.

Terang saja, kesempatan itu dimanfaatkan dengan amat baik oleh Dirut RAPP Rudi Fajar untuk mengerek citra perusahaannya yang anjlok dalam beberapa bulan terakhir. Menurut Rudi, RAPP sebagai perusahaan produsen pulp dan kertas terbesar di Asia Tenggara, selama ini selalu menerapkan strategi bisnis berkelanjutan (sustainable development). Inilah strategi yang menyeimbangkan tiga unsur pokok, yang dikenal dengan konsep 3P: planet, people dan profit.

Tidak cuma itu. Komitmen dan pelaksanaan sustainable development oleh RAPP telah pula mendapatkan pengakuan dunia. Salah satunya, diterimanya RAPP sebagai satu-satunya anggota The World Business Council for Sustainable Developments (WBCSD) dari Indonesia. Rudi menambahkan, tahun 2006 dan awal 2007, RAPP melalui perusahaan induknya: APRIL, juga telah menjadi salah satu mitra dari United Nations Environmental Programe-Champions of The Earth Awards.

RAPP juga menjadi salah satu penandatangan United Nations Global Compact untuk berbagi pengalaman terkait pelaksanaan global compact principles. “Kemitraan dalam berbagai program internasional dan diterimanya RAPP dalam pentas WBCSD, menunjukkan bahwa RAPP kini sudah mendapatkan pengakuan masyarakat dunia,” kata Rudi Fajar, dengan bangga.

Jadi? Bola kini kembali ke Kapolda Sutjiptadi. Adakah bukti-bukti yang dimiliki jajarannya mampu mementahkan klaim Rudi - dan mungkin juga Hasanuddin. Atau, bisa saja bukti itu memang segepok, tetapi tidak cukup kuat buat memenjarakan terdakwa, sebagaimana terjadi di banyak persidangan kasus pembalakan liar di bumi Nusantara. [13 Agustus 2007]

Tidak ada komentar: