Selasa, 04 Desember 2007

Presiden Meminta Agar Aparat Yang Terlibat Illegal Logging Diawasi

[Antara News] - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta masyarakat dan kalangan pers agar ikut membantu mengawasi oknum aparat yang terlibat kegiatan pembalakan liar atau "illegal logging". "Saya tidak ingin ada yang terlibat, baik oknum kepolisian, kejaksaan, pengadilan, Departemen Kehutanan, maupun tentara. Siapa pun yang terlibat adalah musuh besar kita," kata Presiden, ketika berdialog dengan peserta "Bicycle for Earth Goes to Bali" dan Kawula Muda Peduli Lingkungan, di halaman Kantor Gubernur Bali, Denpasar, Selasa.

Pernyataan Presiden itu disampaikan menjawab pertanyaan Aji Prakoso, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Udayana Bali, yang mempertanyakan komitmen pemerintah untuk penegakan hukum lingkungan khususnya kasus "ilegal logging". Presiden yang didampingi Ibu Ani Yudhoyono dalam kesempatan itu kembali menegaskan komitmen pemerintah untuk terus melaksanakan perang besar terhadap pelaku pembalakan liar.

Menurut Presiden, ratusan orang telah diproses secara hukum. Sebagian sudah dijatuhi hukuman, sebagian lainnya sedang dalam proses dan ada pula yang berhasil melarikan diri. "Yang harus kita kejar adalah otak dari pembabatan hutan, penyandang dana, serta orang yang membawa kayu ke luar negeri dengan harga tinggi," katanya.

Mereka itu, kata Presiden, adalah penjahat besar yang telah mengakibatkan kerusakan lingkungan, tidak masuknya pajak, serta menyebabkan tak bergeraknya ekonomi.
"Merekalah yang akan terus kita kejar," tegas Presiden. [Selasa, 4 Des 2007]

Jumat, 30 November 2007

Saatnya Mengimplementasikan Pernyataan Presiden SBY !

[Indonesia Forest Monitor] - Pelaku illegal logging (pembalakan liar) harus diberantas. Harus dilawan siapa otak di belakang illegal logging, atau penyandang dananya. Pelaku illegal logging adalah musuh semua masyarakat, sehingga harus diberantas. Orang yang menebang hutan sembarangan, telah membuat bencana di Indonesia.

Kalimat di atas meluncur deras dari mulut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Cibadak, Bogor, Jawa Barat, pada saat pencanangan penanaman 79 juta pohon dan pekan penanaman hutan di Indonesia menyambut konferensi kerangka kerja PBB tentang perubahan iklan.Sebagai warga, tentu saja kami sangat mendukung pernyataan Presdiden SBY tersebut.

Bukan hanya mendukung, kami juga menunggu implementasi kongkrit berupa penegakkan hukum atas illegal logging di tanah air. Di satu sisi, pernyataan Presiden SBY seperti embun yang menyejukkan hati, namun, di sisi lain, ada celah pesimisme karena pemerintah tidak mampu membekuk para pelaku illegal logging.

Terus terang, kami juga prihatin membaca pernyataan Kapolda Riau Brigjen Polisi Drs Sutjiptadi yang kesulitan membekuk dua perusahaan pulp raksasa (di Riau) – yang ditudingnya sebagai biang praktek illegal logging, selama bertahun-tahun. Menurut Kapolda, dua perusahaan itu memiliki lahan jutaan hektar yang bisa mereka kuasai selama 94 tahun. Namun, akibat pejabat dan pengusaha melakukan kolusi gila-gilaan, berbagai spesies tumbuh-tumbuhan dan binatang serta kelestarian alam pun menjadi punah. Hutan diobrak-abrik tanpa mengindahkan aturan dan ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah.

Sutjiptadi dan jajarannya sudah memiliki bukti-bukti yang lengkap mengenai masalah tersebut, termasuk manipulasi dokumen-dokumen yang dilakukan oleh pengusaha yang menjadi becking gerombolan illegal logging. Saatnya, pernyataan Presiden SBY bukan sekedar proyek kehumasan, namun seharusnya menjadi alat untuk menjadi mendorong penegakkan hukum di tanah air. Caranya hanya satu jalan, yaitu jebloskan pelaku illegal logging ke penjara sekarang juga.
[Tabrani Bachri, Koordinator]

Jumat, 23 November 2007

ILLEGAL LOGGING : Hanya 2% Perkara Kehutanan Divonis Bersalah

[Suara Karya] - Perkara pembalakan liar (illegal logging) dibayangi disharmoni hukum dan ketidakpahaman hakim. Akibatnya, perkara-perkara kehutanan yang dijatuhi vonis bersalah tak sampai dua persen. Selebihnya divonis bebas.

Demikian terungkap dalam diskusi terbatas bertema "Kontroversi Kasus-kasus Hukum Pembalakan Liar", kemarin, di Jakarta. Diskusi menampilkan pembicara pengamat hukum Bambang Widjojanto, dosen hukum pidana Rudy Satriyo Mukantardjo, dan Ketua Badan Pengurus Institut Hukum Sumber Daya Alam Sulaiman N Sembiring.

"Menurut data ICEL (Indonesia Center for Environment Law), dari 155 kasus illegal logging pada tahun 2006, hanya 10 yang diajukan ke pengadilan. Sembilan di antaranya divonis bebas," kata Bambang. Menurut dia, jumlah nilai kerugian negara yang dituduhkan pada kasus-kasus tersebut mencapai Rp 530 triliun. Jika diteliti lebih lanjut, terdakwa perkara-perkara illegal logging dibebaskan karena peraturan yang mengatur kehutanan tidak selaras. Peraturan tersebut antara lain Inpres Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Secara Ilegal, UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dan UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Selain itu, perusahaan dalam kasus-kasus pembalakan liar yang dilimpahkan ke pengadilan sebagian besar juga memiliki izin pengelolaan hutan. "Misalnya, kasus Adelin Lis. Karena minimnya pemahaman hakim tentang pengelolaan hutan, mereka cenderung memutus bebas," kata Bambang.

Menurut Bambang, unsur penting dalam pidana kehutanan dan pidana lingkungan hidup adalah adanya unsur melawan hukum. Artinya, tindakan tersangka baru dapat dikenai pasal pidana jika kegiatan menebang, mengangkut, mengolah, dan memanfaatkan hutan dilakukan secara melawan hukum. Pembuktian unsur melawan hukum tersebut tidak mudah karena aspek hukum tidak selaras sehingga memungkinkan penafsiran beragam.

Contohnya aturan tentang hutan tanaman industri (HTI). Peraturan perundangan yang mengatur HTI pertama kali adalah PP Nomor 7 Tahun 1980. Peraturan itu menyatakan area hutan yang dapat diusahakan sebagai HTI adalah kawasan hutan produksi tetap yang tidak produktif.

Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Kehutanan, HTI yang diatur oleh pasal 28 ayat 1 undang-undang tersebut menyatakan pemanfaatan hutan pada hutan produksi tetap berupa usaha pemanfaatan hutan alam dan usaha pemanfaatan hutan alam. Selanjutnya, HTI diatur pula melalui PP Nomor 34 Tahun 2002 yang mengatur HTI harus dilaksanakan di lahan kosong, padang ilalang, dan semak belukar hutan produksi. Berubah-ubahnya kebijakan peraturan tersebut membuat sulit menetapkan suatu perbuatan memenuhi unsur melawan hukum, apakah menurut UU Kehutanan atau UU Lingkungan.

Dasar hukum yang sering digunakan untuk menjerat pelaku pembalakan liar adalah Inpres Nomor 4 Tahun 2005. Namun, karena penerapannya di lapangan mengalami stagnasi, terdapat perbedaan penafsiran tentang perbuatan yang dilarang dalam pengelolaan hutan serta penerapan sanksi pidana terhadap pelaku yang diduga melakukan pelanggaran hukum.

Bambang juga mengingatkan aparat penegak hukum untuk tidak buru-buru menggolongkan setiap kasus kehutanan sebagai pembalakan liar. "Sebab, pembalakan liar dilakukan oleh orang yang tidak memiliki izin menebang hutan. Kalau ada izinnya, tentu tidak bisa dipidana," kata Bambang.

Namun, Bambang meminta aparat hukum untuk bertindak tegas terhadap setiap perusak hutan lindung atau cagar alam. Sebab, tidak pernah ada izin untuk mengelola kedua jenis hutan tersebut. "Sebenarnya pembalakan ada di situ, tapi kasus itu tidak ditangani. Padahal itu banyak," kata Bambang Widjojanto.

Karena itu, memidanakan penebang di kedua jenis hutan tersebut, menurut Bambang, paling gampang. "Hutan Lorenz Papua itu rusak, begitu juga dengan Taman Nasional Lauser di Aceh. Perusakan di situ kan nggak dapat izin. Itu paling gampang kalau ingin membawa kasus perusakan dengan pembalakan liar," imbuh dia.

Hal senada diungkapkan ahli hukum pidana Rudy Satriyo. Menurut dia, tidak harmonisnya peraturan yang mengatur sumber daya alam adalah penyebabnya. "Sebab, masing-masing instansi menintikberatkan pada kepentingan sektornya, bukan kepentingan bangsa. Sekarang, para penjahat sangat menikmati kekacauan produk hukum tersebut," kata Rudy.

Rudy juga mengusulkan penghapusan izin presiden dalam penyidikan kasus pembalakan liar, sebab hal itu justru menghambat proses hukum. "Itu nggak perlu lagi izin untuk penyidikan dan pemeriksaan karena birokrasi tidak ada cantolannya dengan hukum," kata Rudy.

Menurut dia, jika penyidik membutuhkan keterangan pejabat pemerintah, pejabatnya bisa langsung diperiksa tanpa harus menunggu izin presiden yang belum tentu turun dalam waktu dekat. Dalam penyidikan kasus illegal logging di Riau, penyidik masih menunggu izin SBY untuk memeriksa gubernur dan lima bupati. [Jumat : 23 Nov 2007]

Rabu, 14 November 2007

Jaksa Agung Minta Kejelasan Kasus Pencucian Uang Adelin Lis

[Antara News] - Jaksa Agung, Hendarman Supandji, meminta Polri memperjelas tindak pidana yang mendasari munculnya dugaan pencucian uang terhadap mantan terdakwa kasus pembalakan liar Adelin Lis. "Pencucian uang dari tindak pidana mana? ini kan belum jelas," kata Jaksa Agung ketika ditemui setelah seminar tentang pemberantasan pencucian uang di Jakarta, Rabu .

Jaksa Agung mengatakan hal itu karena kejaksaan berkewajiban mendampingi kepolisian dalam menyidik suatu tindak pidana. Kepolisian hendak menjerat Adelin Lis dengan tuduhan pencucian uang, setelah pengusaha itu divonis bebas dari dakwaan kejahatan hutan dan tindak pidana korupsi.

Jaksa Agung menegaskan, kepolisian bisa menentukan lebih dari satu tindak pidana yang dijadikan tindak pidana asal dari perbuatan pencucian uang yang dilakukan Adelin Lis. Kepolisian, katanya, bisa menyidik beberapa tindak pidana asal pencucian uang secara bersamaan. "Kepolisian bisa menyidik kumulatif," katanya.

Jaksa Agung mencontohkan, kepolisian bisa menyidik tindak pidana baru yang dijadikan sumber pencucian uang, ketika polisi menyidik perkara pidana lain dalam kasus pencucian uang yang sama. Kedua kasus itu bisa diputus dalam waktu yang terpisah, katanya. (*)

Polri: Surat Adelin Lis Palsu

[Antara News] - Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol. Sisno Adiwinoto mengatakan surat pelepasan terdakwa kasus pembalakan liar Adelin Lis dari Rumah Tahanan Negara Medan diduga palsu dan kini polisi telah menemukan dua tersangka kasus terkait pemalsuan surat tersebut.

Kepada wartawan di Jakarta, Rabu, Sisno mengatakan dugaan pemalsuan surat itu muncul setelah penyidik Kepolisian Daerah Sumatera Utara dan Markas Besar Polri memeriksa sejumlah saksi dan barang bukti yang ada.

"Indikasinya, surat eksekusi itu palsu sehingga pemeriksaan akan dilanjutkan hingga ditemukan semua pihak yang terlibat dalam penerbitan surat palsu itu," jelasnya.

Menurut dia, polisi telah menemukan tersangka yang terlibat dalam pemalsuan surat tersebut yakni dua oknum aparat penegak hukum di Medan.

Ia tidak menyebutkan nama dan asal institusi dari kedua oknum penegak hukum tersebut namun ada dugaan mereka karyawan Rumah Tahanan Negara Medan.

Surat pelepasan itu diduga palsu karena tertanggal 3 November 2007 padahal Adelin Lis baru divonis bebas oleh majelis hakim pada 5 November 2007.

Sisno menambahkan, polisi tidak hanya berhenti pada kedua tersangka namun akan menelusuri kasus tersebut lebih detil lagi sampai menemukan dalangnya. "Kita akan meruntut terus kasus ini hingga ke jajaran atas," katanya.

Polri berkepentingan menangkap kembali Adelin Lis karena kendati sudah divonis bebas atas kasus pembalakan liar di Kabupaten Mandailing Natal Sumatera Utara, kini Adelin menjadi tersangka tindak pidana lain yakni pidana pencucian uang, pengalihan kredit perbankan dan pengubahan kawasan hutan menjadi lahan perkebunan.(*)

Selasa, 06 November 2007

Benyamin Mangkudilaga Minta Presiden Non-aktifkan MS Kaban

[Antara News] - Pakar hukum senior Benyamin Mangkudilaga, di Jakarta, Jumat, mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar segera menonaktifkan Menteri Kehutanan MS Kaban, terkait vonis bebasnya tersangka kasus pembalakan liar, Adelin Lis, di Pengadilan Negeri Medan.

Ia mengatakan itu kepada ANTARA, menanggapi pernyataan Wakil Ketua DPR, Soetardjo Soerjoguritno (dari Fraksi PDI Perjuangan), yang juga mendesak Presiden Yudhoyono mengganti MS Kaban.

Desakan kedua tokoh dari jalur berbeda itu terkait sikap MS Kaban yang diduga memengaruhi putusan Pengadilan Negeri (PN) Medan, sehubungan dengan kasus Adelin Lis tersebut.
"Saya harap, nonaktifkan segera yang bersangkutan dan selesaikan secara hukum," kata Benyamin Mangkudalaga singkat.

Egoisme Sektoral. Secara terpisah, ahli hukum dan kriminolog Universitas Indonesia (UI), Dr Adrianus Meliala, mengatakan MS Kaban kini dianggap kontroversial. "Saya kira benar MS Kaban kini dianggap begitu. Sebab, pendapat-pendapatnya sering berada dalam wilayah yang kita kenal dengan sebutan `egoisme sektoral`," ujarnya.

Dalam pandangan Adrianus Meliala, langkah-langkah MS Kaban yang walaupun disebutkannya sebagai 'sesuai dengan hukum dan peraturan', tetapi terlihat ironis. "Terutama ketika kita tahu ada banyak sekali penyimpangan dari peraturan dan undang-undang di lingkup komunitas kehutanan," kata Adrianus Meliala. [6 November 2007]

Jumat, 19 Oktober 2007

Ada Perusahaan Besar di Balik Pembalakan Liar

[Republika] - Pembalakan liar di sejumlah daerah ternyata masih marak. Operasi Illegal Logging yang dilakukan polisi belum sepenuhnya membuahkan hasil. Salah satu daerah yang hutannya banyak dijarah oleh para cukong itu adalah Riau. Wartawan Republika Palupi Annisa Auliani mencoba mendalami belantara hutan di Riau dan melihat operasi pembalakan liar yang dilakukan polisi.

Tak bisa dimungkiri lagi, di balik terjadinya pembalakan liar di Riau, beberapa perusahaan besar dituding menjadi pelaku utama. Hal ini dikarenakan perusahaan besar itu menerima pasokan kayu dari perusahaan-perusahaan yang menjadi mitra kerja mereka. Para mitra kerja ini mengantongi izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) baik yang berada pada hutan alam (HA) maupun hutan tanaman (HT). Tudingan pembalakan liar ini diduga terjadi karena diduga terjadi banyak penyimpangan sejak penerbitan izin diberikan.

Dugaan penyimpangan perizinan itu berupa fakta keluarnya IUPHHK-HT pascaterbitnya peraturan pemerintah (PP) 34/2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan, dan Penggunaan Kawasan Hutan. PP yang terbit pada 8 Juni 2002 itu telah mencabut kewenangan Kepala Daerah untuk mengeluarkan IUPHHK. Kenyataannya, sekurangnya ada 34 IUPKHHK-HT untuk areal seluas 378.299,5 hektare di Riau terbit setelah tanggal itu.

Empat mantan kepala dinas Riau --Azral Rahman, Sudirno, Fauzi Saleh, dan Syuhada Tasman-- sudah ditetapkan menjadi tersangka oleh Polda Riau. Sedangkan pejabat-pejabat lainnya sedang diproses karena menyangkut masalah perizinan dari pemerintah pusat.

Selain waktu penerbitan, izin itu dianggap bermasalah karena pembukaan hutan tanaman industri (HTI) tersebut tidak sesuai persyaratan dan peraturan. Dalam kesemua peraturan itu disebutkan kriteria final lahan yang dapat dijadikan hutan tanaman industri (HTI) adalah lahan kosong, padang alang-alang, atau semak belukar, atau hutan produksi yang tidak produktif. Beberapa kriteria tambahan sempat tercantum, yaitu lahan dengan pohon dominan kurang dari 200 batang, atau maksimal kubikasi tegakan diameter lebih dari 10 sentimeter untuk seluruh jenis kayu di lahan itu adalah lima meter kubik.

Deklarasi Riau Antikejahatan Hutan yang diprakarsai lembaga swadaya masyarakat di bidang lingkungan di Riau pada 6 September 2007, melampirkan data perbandingan kepemilikan lahan dan kebutuhan kayu dari dua perusahaan pulp and paper di Riau. Dua perusahaan itu adalah PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP), anak perusahaan dari Raja Garuda Mas (RGM) yang memproduksi 2 juta ton pulp kering (air dried ton atau (ADT) di Riau.

Hingga 20 Juni 2006, RAPP memiliki 265.407 hektare HTI. Sementara PT Indah Kiat Pulp and Paper (IKPP), anak perusahaan Asia Pulp and Paper (APP) dari grup Sinar Mas, juga memproduksi pulp ADT di Riau pada kisaran 2 juta ton per tahun. Akasia yang menjadi tanaman dalam HTI kedua perusahaan, dapat dipanen dengan rotasi 6 tahunan, dengan riap 30 meter kubik per hektare.

Saat dipanen, volume kayu akasia per hektare adalah 180 meter kubik per hektare. Dengan kebutuhan 25,12 juta meter kubik kayu tiap tahun, dibutuhkan setidaknya 139.556 hektare per tahun. Karena siklus panen akasia adalah enam tahun, untuk memenuhi kebutuhan produksi kedua perusahaan tersebut secara terus-menerus, dibutuhkan luasan lahan enam kali kebutuhan tahunan. Yaitu, 837.333 hektare hutan tanaman akasia.

Lalu dari mana asal pasokan kayu kedua perusahaan. Dugaan sementara dari perusahaan mitra. Sementara, izin perusahaan mitra itu bermasalah. Sebagian izin perusahaan mitra baru terbit pada 2002 dan 2003. Artinya berdasarkan hitungan siklus panen akasia, hingga 2007 belum ada panen hasil tanaman. Jika pasokan kayu berasal dari pembersihan lahan, kriteria pembukaan HTI sepertinya tidak mencapai kisaran angka itu.

Juru bicara RAPP, Troy Pantaw, tidak bersedia memberi tanggapan mengenai dugaan pelanggaran perusahaan mitra mereka. `'Kan masih penelitian,'' ujar Troy. Tetapi, dia mengatakan bahwa penerimaan kayu dari perusahaan mitra selalu melewati prosedur pemeriksaan. Sedangkan director of corporate secretary Sinar Mas Group, Yan Partawijaya, menegaskan pihaknya menyerahkan hal ini kepada polisi untuk menentukan mana yang benar atau mana yang salah. Namun, dia menegaskan kayu-kayu yang datang ke perusahaannya semuanya terdaftar dan bukan dari hasil pembalakan liar. [19 September 2007]