Jumat, 23 November 2007

ILLEGAL LOGGING : Hanya 2% Perkara Kehutanan Divonis Bersalah

[Suara Karya] - Perkara pembalakan liar (illegal logging) dibayangi disharmoni hukum dan ketidakpahaman hakim. Akibatnya, perkara-perkara kehutanan yang dijatuhi vonis bersalah tak sampai dua persen. Selebihnya divonis bebas.

Demikian terungkap dalam diskusi terbatas bertema "Kontroversi Kasus-kasus Hukum Pembalakan Liar", kemarin, di Jakarta. Diskusi menampilkan pembicara pengamat hukum Bambang Widjojanto, dosen hukum pidana Rudy Satriyo Mukantardjo, dan Ketua Badan Pengurus Institut Hukum Sumber Daya Alam Sulaiman N Sembiring.

"Menurut data ICEL (Indonesia Center for Environment Law), dari 155 kasus illegal logging pada tahun 2006, hanya 10 yang diajukan ke pengadilan. Sembilan di antaranya divonis bebas," kata Bambang. Menurut dia, jumlah nilai kerugian negara yang dituduhkan pada kasus-kasus tersebut mencapai Rp 530 triliun. Jika diteliti lebih lanjut, terdakwa perkara-perkara illegal logging dibebaskan karena peraturan yang mengatur kehutanan tidak selaras. Peraturan tersebut antara lain Inpres Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Secara Ilegal, UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dan UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Selain itu, perusahaan dalam kasus-kasus pembalakan liar yang dilimpahkan ke pengadilan sebagian besar juga memiliki izin pengelolaan hutan. "Misalnya, kasus Adelin Lis. Karena minimnya pemahaman hakim tentang pengelolaan hutan, mereka cenderung memutus bebas," kata Bambang.

Menurut Bambang, unsur penting dalam pidana kehutanan dan pidana lingkungan hidup adalah adanya unsur melawan hukum. Artinya, tindakan tersangka baru dapat dikenai pasal pidana jika kegiatan menebang, mengangkut, mengolah, dan memanfaatkan hutan dilakukan secara melawan hukum. Pembuktian unsur melawan hukum tersebut tidak mudah karena aspek hukum tidak selaras sehingga memungkinkan penafsiran beragam.

Contohnya aturan tentang hutan tanaman industri (HTI). Peraturan perundangan yang mengatur HTI pertama kali adalah PP Nomor 7 Tahun 1980. Peraturan itu menyatakan area hutan yang dapat diusahakan sebagai HTI adalah kawasan hutan produksi tetap yang tidak produktif.

Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Kehutanan, HTI yang diatur oleh pasal 28 ayat 1 undang-undang tersebut menyatakan pemanfaatan hutan pada hutan produksi tetap berupa usaha pemanfaatan hutan alam dan usaha pemanfaatan hutan alam. Selanjutnya, HTI diatur pula melalui PP Nomor 34 Tahun 2002 yang mengatur HTI harus dilaksanakan di lahan kosong, padang ilalang, dan semak belukar hutan produksi. Berubah-ubahnya kebijakan peraturan tersebut membuat sulit menetapkan suatu perbuatan memenuhi unsur melawan hukum, apakah menurut UU Kehutanan atau UU Lingkungan.

Dasar hukum yang sering digunakan untuk menjerat pelaku pembalakan liar adalah Inpres Nomor 4 Tahun 2005. Namun, karena penerapannya di lapangan mengalami stagnasi, terdapat perbedaan penafsiran tentang perbuatan yang dilarang dalam pengelolaan hutan serta penerapan sanksi pidana terhadap pelaku yang diduga melakukan pelanggaran hukum.

Bambang juga mengingatkan aparat penegak hukum untuk tidak buru-buru menggolongkan setiap kasus kehutanan sebagai pembalakan liar. "Sebab, pembalakan liar dilakukan oleh orang yang tidak memiliki izin menebang hutan. Kalau ada izinnya, tentu tidak bisa dipidana," kata Bambang.

Namun, Bambang meminta aparat hukum untuk bertindak tegas terhadap setiap perusak hutan lindung atau cagar alam. Sebab, tidak pernah ada izin untuk mengelola kedua jenis hutan tersebut. "Sebenarnya pembalakan ada di situ, tapi kasus itu tidak ditangani. Padahal itu banyak," kata Bambang Widjojanto.

Karena itu, memidanakan penebang di kedua jenis hutan tersebut, menurut Bambang, paling gampang. "Hutan Lorenz Papua itu rusak, begitu juga dengan Taman Nasional Lauser di Aceh. Perusakan di situ kan nggak dapat izin. Itu paling gampang kalau ingin membawa kasus perusakan dengan pembalakan liar," imbuh dia.

Hal senada diungkapkan ahli hukum pidana Rudy Satriyo. Menurut dia, tidak harmonisnya peraturan yang mengatur sumber daya alam adalah penyebabnya. "Sebab, masing-masing instansi menintikberatkan pada kepentingan sektornya, bukan kepentingan bangsa. Sekarang, para penjahat sangat menikmati kekacauan produk hukum tersebut," kata Rudy.

Rudy juga mengusulkan penghapusan izin presiden dalam penyidikan kasus pembalakan liar, sebab hal itu justru menghambat proses hukum. "Itu nggak perlu lagi izin untuk penyidikan dan pemeriksaan karena birokrasi tidak ada cantolannya dengan hukum," kata Rudy.

Menurut dia, jika penyidik membutuhkan keterangan pejabat pemerintah, pejabatnya bisa langsung diperiksa tanpa harus menunggu izin presiden yang belum tentu turun dalam waktu dekat. Dalam penyidikan kasus illegal logging di Riau, penyidik masih menunggu izin SBY untuk memeriksa gubernur dan lima bupati. [Jumat : 23 Nov 2007]

Tidak ada komentar: