Jumat, 19 Oktober 2007

Ada Perusahaan Besar di Balik Pembalakan Liar

[Republika] - Pembalakan liar di sejumlah daerah ternyata masih marak. Operasi Illegal Logging yang dilakukan polisi belum sepenuhnya membuahkan hasil. Salah satu daerah yang hutannya banyak dijarah oleh para cukong itu adalah Riau. Wartawan Republika Palupi Annisa Auliani mencoba mendalami belantara hutan di Riau dan melihat operasi pembalakan liar yang dilakukan polisi.

Tak bisa dimungkiri lagi, di balik terjadinya pembalakan liar di Riau, beberapa perusahaan besar dituding menjadi pelaku utama. Hal ini dikarenakan perusahaan besar itu menerima pasokan kayu dari perusahaan-perusahaan yang menjadi mitra kerja mereka. Para mitra kerja ini mengantongi izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) baik yang berada pada hutan alam (HA) maupun hutan tanaman (HT). Tudingan pembalakan liar ini diduga terjadi karena diduga terjadi banyak penyimpangan sejak penerbitan izin diberikan.

Dugaan penyimpangan perizinan itu berupa fakta keluarnya IUPHHK-HT pascaterbitnya peraturan pemerintah (PP) 34/2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan, dan Penggunaan Kawasan Hutan. PP yang terbit pada 8 Juni 2002 itu telah mencabut kewenangan Kepala Daerah untuk mengeluarkan IUPHHK. Kenyataannya, sekurangnya ada 34 IUPKHHK-HT untuk areal seluas 378.299,5 hektare di Riau terbit setelah tanggal itu.

Empat mantan kepala dinas Riau --Azral Rahman, Sudirno, Fauzi Saleh, dan Syuhada Tasman-- sudah ditetapkan menjadi tersangka oleh Polda Riau. Sedangkan pejabat-pejabat lainnya sedang diproses karena menyangkut masalah perizinan dari pemerintah pusat.

Selain waktu penerbitan, izin itu dianggap bermasalah karena pembukaan hutan tanaman industri (HTI) tersebut tidak sesuai persyaratan dan peraturan. Dalam kesemua peraturan itu disebutkan kriteria final lahan yang dapat dijadikan hutan tanaman industri (HTI) adalah lahan kosong, padang alang-alang, atau semak belukar, atau hutan produksi yang tidak produktif. Beberapa kriteria tambahan sempat tercantum, yaitu lahan dengan pohon dominan kurang dari 200 batang, atau maksimal kubikasi tegakan diameter lebih dari 10 sentimeter untuk seluruh jenis kayu di lahan itu adalah lima meter kubik.

Deklarasi Riau Antikejahatan Hutan yang diprakarsai lembaga swadaya masyarakat di bidang lingkungan di Riau pada 6 September 2007, melampirkan data perbandingan kepemilikan lahan dan kebutuhan kayu dari dua perusahaan pulp and paper di Riau. Dua perusahaan itu adalah PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP), anak perusahaan dari Raja Garuda Mas (RGM) yang memproduksi 2 juta ton pulp kering (air dried ton atau (ADT) di Riau.

Hingga 20 Juni 2006, RAPP memiliki 265.407 hektare HTI. Sementara PT Indah Kiat Pulp and Paper (IKPP), anak perusahaan Asia Pulp and Paper (APP) dari grup Sinar Mas, juga memproduksi pulp ADT di Riau pada kisaran 2 juta ton per tahun. Akasia yang menjadi tanaman dalam HTI kedua perusahaan, dapat dipanen dengan rotasi 6 tahunan, dengan riap 30 meter kubik per hektare.

Saat dipanen, volume kayu akasia per hektare adalah 180 meter kubik per hektare. Dengan kebutuhan 25,12 juta meter kubik kayu tiap tahun, dibutuhkan setidaknya 139.556 hektare per tahun. Karena siklus panen akasia adalah enam tahun, untuk memenuhi kebutuhan produksi kedua perusahaan tersebut secara terus-menerus, dibutuhkan luasan lahan enam kali kebutuhan tahunan. Yaitu, 837.333 hektare hutan tanaman akasia.

Lalu dari mana asal pasokan kayu kedua perusahaan. Dugaan sementara dari perusahaan mitra. Sementara, izin perusahaan mitra itu bermasalah. Sebagian izin perusahaan mitra baru terbit pada 2002 dan 2003. Artinya berdasarkan hitungan siklus panen akasia, hingga 2007 belum ada panen hasil tanaman. Jika pasokan kayu berasal dari pembersihan lahan, kriteria pembukaan HTI sepertinya tidak mencapai kisaran angka itu.

Juru bicara RAPP, Troy Pantaw, tidak bersedia memberi tanggapan mengenai dugaan pelanggaran perusahaan mitra mereka. `'Kan masih penelitian,'' ujar Troy. Tetapi, dia mengatakan bahwa penerimaan kayu dari perusahaan mitra selalu melewati prosedur pemeriksaan. Sedangkan director of corporate secretary Sinar Mas Group, Yan Partawijaya, menegaskan pihaknya menyerahkan hal ini kepada polisi untuk menentukan mana yang benar atau mana yang salah. Namun, dia menegaskan kayu-kayu yang datang ke perusahaannya semuanya terdaftar dan bukan dari hasil pembalakan liar. [19 September 2007]